
Kabartani.com – Tak sedikit orang yang mendambakan memperoleh pekerjaan yang mapan dan gaji besar setelah lulus pendidikan. Namun, berbeda dengan Muslahuddin Daud, pria asal Pidie Jaya, Aceh, ini memilih banting setir menjadi petani setelah 13 tahun bekerja di World Bank dengan gaji Rp 75 juta rupiah.
“Gaji saya (di World Bank) Rp 75 juta,” kata Muslahudin Daud, seperti dilansir dari detikcom, Senin (19/3/2018).
Gaji besar yang ia peroleh sebagai Social Development Specialist rela ditinggalkannya. Setelah resign pada tahun 2014 silam, Muslahudin membeli 20 hektare kebun di Paya Dua Panten Jeulatang, Kecamatan Lamteuba, Aceh Besar.

Di kebun tersebut, pria yang akrab disapa Pak Mus ini menanam berbagai macam tanaman, seperti cabai, pepaya, jagung, kopi, dan pisang. Saat ini, mayoritas kebunnya banyak ditanami dengan tanaman pepaya yang tumbuh dengan sumbur.
“Secara alamiah, tanaman itu suka kawan jadi kita buat aja dia banyak teman. Tapi kita atur dengan konsep secara sengaja. Seperti pepaya di sini, pisang di sini. Variasi tumbuhan ini bisa bervariasi juga ke pendapatan petani,” ujarnya.
Keputusannya memilih menjadi petani tentu mendapat protes dari keluarga dan istrinya. Namun ia berhasil meyakinkan mereka bahwa tekadnya untuk berkebun sangat kuat.
“Keluarga pertama protes. Istri saya sukanya toko, beli tanah di kota. Tapi bergerak dari sebuah keyakinan dibarengi dengan ilmu, saya yakin saja suatu saat akan berhasil,” jelas Muslahudin.
Selain mengelola lahan seluas 20 hektar miliknya, ia juga membina sekitar 4 ribu petani di seluruh Aceh, mulai dari petani kopi, cengkeh, cabai, hingga bawang. Dia turun ke petani-petani untuk membimbing mereka dari cara menanam hingga panen. Hebatnya, proses bimbingan ini dilakukannya secara sukarela.
Ongkos yang harus dikeluarkannya untuk berkebun dan membina petani tentu tidak sedikit. Bahkan, hingga saat ini Muslahuddin sudah mengeluarkan biaya miliaran rupiah.
“Yang lebih penting kerja saya di luar Lamteuba sebenarnya. Selama ini hampir 4 tahun menjadi trainer di berbagai wilayah atas permintaan dari masyarakat. Biaya yang saya keluarkan sudah sekitar Rp 1,5 miliar. Itu untuk beli bibit dan bina petani,” ungkapnya.
Simak juga :
- “Surono Danu” Peneliti dan Penemu Padi Unggul SERTANI
- Kisah Sigit Paryono: Sistem Tanam Minapadi Lebih Menguntungkan Bagi Petani
- Dengan Ramuan Khusus, Pak Romadhon Mampu Ciptakan Jenis Tanaman Unggul
Artikel yang bagus dan menarik. Sukses selalu.